MASALAH-MASALAH
ETIKA TERAPAN
DAN
TANTANGANNYA BAGI ZAMAN KITA
A. Etika
Sedang Naik Daun
Etika
terapan (applied ethics) sama sekali bukan hal yang baru dalam sejarah filsafat
moral. Sejak Plato dan Aristoteles etika merupakan filsafat praktis, artinya
filsafat yang ingin memberikan penyuluhan terhadap tingkah laku manusia dengan
memperlihatkan apa yang harus dilakukan. Dalam abad pertengahan Thomas Aquinas
melanjutkan filsafat praktis ini dan menerapkannya dibidang teologi moral. Pada
awal zaman modern muncul etika khusus (speciall ethics) yang membahas masalah
etis suatu bidang tertentu seperti negara dan keluarga.
Pada awal abad 20,
di kawasan berbahasa inggris, khususnya di United Kingdom dan Amerika
Serikat etika dipraktekkan sebagai”metaetika”. Ini adalah suatu aliran dalam
filsafat moral yang tidak menyelidiki baik buruknya perbuatan manusia,
melainkan “bahasa moral” atau ungkapan-ungkapan manusia tentang baik dan
buruk. Aliran meta etika merupakan filsafat moral yang
mendominasi enam decade pertama abad ke-20. Baru mulai akhir
1960-an terlihat suatu tendensi lain. Timbul perhatian yang semakin besar
terhadap etika. Sekitar saat itu
etika mulai meminati masalah-masalah etis yang konkrit. Etika turun dari
tempatnya yang tinggi, dan mulai membumi. Perubahan tersebut dapat dikatakan
dipicu oleh beberapa factor yang timbul serentak. Diantara beberapa factor itu
dapat disebut faktor penting pertama adalah perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya dalam sector ilmu-ilmu biomedis.
Perkembangan pesat bidang ini telah menimbulkan banyak persoalan etis yang
besar. Faktor penting kedua adalah terciptanya semacam “iklim moral”
yang mengundang minat baru untuk etika. Iklim baru yang dimaksud berupa
munculnya gerakan hak diberbagai bidang, yang secara khusus telah mengundang
peran actual dari etika itu sendiri.
Namun
pada dasarnya etika khusus sama artinya dengan etika terapan. Bagaimanapun
juga, filsafat moral (khususnya etika terapan) mengalami perkembangan pesat
atau masa kejayaannya seperti :
q Di
banyak tempat diseluruh dunia setiap tahun diadakan kongres dan seminar tentang
masalah-masalah etis.
q Telah
didirikan cukup banyak institut, di dalam maupun di luar kalangan perguruan
tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral, kerap kali dalam
kaitan dengan bidang ilmiah tertentu (ilmu kedokteran, hukum, ekonomi atau yang
lainnya)
q Terutama
di Amerika Serikat, etika dalam salah satu bentuk sering kali dimasukkan dalam
kurikulum di Perguruan Tinggi.
q Membanjirnya
publikasi mengenai etika terapan yang tidak pernah terpikirkan beberapa dekade
yang lalu. Ada cukup banyak majalah ilmiah yang membahas salah satu aspek etika
terapan. Seperti: Philosophy and Publik Affairs, Journal of Medical Ethics dll.
q Pada
dekade-dekade terakhir ini tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk
mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral.
B. Beberapa
Bidang Garapan bagi Etika Terapan
1. Dua wilayah besar yang disoroti etika terapan
Dua wilayah besar yang disoroti atau mendapat perhatian
khusus dan serius di dalamnya, yakni wilayah profesi dan wilayah masalah. Etika
kedokteran, etika politik, etika bisnis, dan sebagainya, merupakan wilayah
profesi. Penggunaan tenaga nuklir, pembuatan, pemilikan, penggunaan senjata
nuklir, pencemaran lingkungan hidup, diskriminasi ras merupakan wilayah
masalah. Cabang etika terapan yang paling banyak mendapat perhatian dalam zaman
kita sekarang ini dapat disebut dari sudut/wilayah profesi, yakni: etika
kedokteran dan etika bisnis. Dari wilayah masalah masalah dapat disebut: etika tentang
perang dan damai dan etika lingkungan hidup.
2.
Pembagian
ke dalam makroetika dan mikroetika
Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah dengan
membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas
masalah-masalah moral pada skala besar. Suatu masalah disebut makroetika
apabila masalah itu menyangkut suatu bangsa seluruhnya abahn seluruh umat
manusia. Ekonomi dan keadilan; lingkungan hidup, dan alokasi sarana-sarana
pelayanan kesehatan dapat digolongkan sebagai contoh-contoh dari makroetika.
Mikroetika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat,
seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban pengacara terhadap
kliennya. Kadang diantara makroetika dan mikroetika disisipkan lagi jenis etika
terapan yang ketiga, yang disebut mesoetika (meso=madya), yang menyoroti
masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu kelompok atau profesi, seperti
kelompok ilmuwan, profesi wartawan, pengacara dan sebagainya.
3.
Pembagian
ke dalam etika individual dan etika sosial
Pembagian lain etika terapan adalah pembedaan antara
etika individual dan etika social. Etka individual membahas kewajiban manusia
terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika social membahas kewajiban manusia
sebagai anggota masyarakat. Namun pembagian ini banyak diragukan relevansinya,
karena manusia peroranganpun selalu adalah mahluk social, sehingga tidak bias
dibedakan antara etika semata-mata individual dan etika yang semata-mata
sosial.
C.
Etika
Terapan dan Pendekatan Multidisipliner
Etika terapan mesti bekerjasama dengan disiplin-disiplin
ilmu-ilmu lain. Kerjasama ini mutlak diperlukan, karena dia harus membentuk
pertimbangan tentang bidang-bidang yang sama sekali diluar keahliannya. Seorang
etikawan akan sulit baginya memberikan pertimbangan moral yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk suatu masalah medis yang sama sekali tidak
dimengertinya dengan baik. Dia membutuhkan penjelasan atau ulasan yang memadai
dan lengkap mengenai pilihan-pilihan tindakan medis beserta berbagai argumen
dibelakangnya. Dan ini hanya akan diperoleh dari pihak-pihak yang berkompeten
dalam bidang itu.
1. Pendekatan multidisipliner
Perlu dibedakan antara pendekatan multidisipliner dan
pendekatan interdisipliner. Keduanya sama-sama merupakan pendekatan yang
membuka pemahaman yang lebih luas dan mendalam atas suatu masalah yang sedang
dihadapi. Pendekatan multidisipliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang
sama oleh pelbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang
satu disamping yang lain. Setiap ilmuwan dari satu disiplin ilmu akan berusaha
memberi penjelasan yang dapat dipahami juga oleh ilmuwan dari bidang lain.
Multidisipliner merupakan usaha menyoroti suatu masalah tertentu dari berbagai
seginya. Dalam melakukan hal ini perspektif setiap ilmu tetap dipertahankan dan
tidak harus melebur dengan perspektif ilmiah yang lainnya. Disini tidak
tercapai suatu pandangan terpadu, yang memang tidak dimaksudkan disini. Yang
dihasilkan hanyalah pendekatan dari berbagai arah yang dipusatkan pada tema
yang sama. Sedangkan pendekatan Indisipliner dijalankan dengan lintas disiplin
dimana semua ilmu yang ikut serta meninggalkan pandangan yang menyeluruh. Hasil
yang diperoleh dari kerjasama ini adalah
suatu produk yang melampaui segi ilmiah masing-masing peserta. Dalam
kenyataannya inter disiopliner agak sulit dilaksanakan. Dan walaupun pendekatan
multidisipliner juga bukan hal yang tidak sulit namun pendekatan itu lebih
realistis dilaksanakan.
2. Pentingnya pendekatan kasuistik
Pendekatan kasuistik yang dimaksud adalah usaha memecahkan
kasus-kasus konkrit dibidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etika umum
. Pembahasan kasus merupakan cara yang sangat cocok dalam etika terapan, dan
mengungkapkan sesuatu tentang kekhususan argumentasi dalam etika. Pendekatan
kasuistik diakui sebagai metode yang efisien untuk mencapai kesepakatan di
bidang moral. Biasanya, kalau dimulai dari teori akan sulit mencapai suatu
kesepakatan. Penalaran moral memang berbeda dengan penalaran matematis, yang
selalu dilkukan dengan cara yang sama, kapan saja dan dimana saja, tak
terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar.
Dengan pendekatan kasuistik ini, sifat penalaran moral
menunjukkan dua hal:
Pertama: Di suatau pihak kasuistik mengandaikan secara
implisi bahwa relativisme moral tidak bias dipertahankan. Jika setiap kasus
mempunyai kebenaran etis sendiri, makapendekatan kasuistik tidak perlu lagi.
Kasuistik timbul karena ada keyakinan umum bahwa prinsip-prinsip etis itu
bersifat universal dan tidak relatif saja terhadap suatu keadaan konkret.
Kedua: Umum
diterima juga bahwa prinsip-prinsip etis tidak bersifat absolut begitu saja,
dan tidak peduli dengan situasi konkret. Sebagaimana arti sebuah kata atau
kalimat bias berubah karena konteksnya, demikian juga sifat-sifat suatu masalah
etis bias berubah karena situasi khusus yang menandai kasusnya. Etika situasi
sangat memperhatikan keunikan setiap situasi. Faktor-faktor spesifik yang
menandai suatu situasi tertentu bias sangat bias sangat mempengaruhi penilaian
terhadap suatu kasus. Semua kasus tidak sama dan ketidaksamaan ini penting
diperhitungkan dalam rangka menerapkan suatu prinsip etika yang berlaku umum.
D.
Kode
Etik Profesi
Kode etik profesi
adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan
dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal
yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu
kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuanketentuan tertulis yang
diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh
tertua adalah ; SUMPAH HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama
untuk profesi dokter. Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari :
BAPAK ILMU KEDOKTERAN. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli
sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi
setidaknya berasal dari kalangan muridmuridnya dan meneruskan semangat
profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat
eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik
menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar begitu luas
seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai suasana etis yang
khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak kode-kode etik ini.
Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi segi
negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan
arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi
itu dimata masyarakat. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika
terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah
tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak
berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu
didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya,
salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi
sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu
instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh
cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat
juga membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus
dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik,
kode etik itu sendiri harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan diri)
dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam
atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki.
Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang
berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang
bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan
untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus
dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya
diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi
yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan
ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk
khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang
tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan
profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar
kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang
terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur
dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan
kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control
ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam
anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan
teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu
solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan
demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang
sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan
lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan
kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya. Kode Etik Profesi
merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari
norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika
profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma
ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah
tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem
norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang
apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan
apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional
TUJUAN KODE ETIK PROFESI :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat
profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para
anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi
profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas
keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang
kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.
FUNGSI KODE ETIK PROFESI :
1. Memberikan pedoman bagi setiap
anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi
masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
3.Mencegah campur tangan pihak di luar
organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika
profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.
Kode etik yang ada dalam masyarakat
Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya
pemilik kode etik adalah organisasi
kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik
Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia kode etik dokter, perawat, petugas
pelayanan kesehatan, pengacara, wartawan, perusahaan periklanan dan lain-lain.
Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
E. ETIKA
DI DEPAN ILMU TEKNOLOGI
Diantara
masalah-masalah etis berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal
dari hasil spektakuler yang dicapai dari perkembangan ilmu dan teknologi
modern. Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, perkembangan ilmiah
dan teknologi itu mengubah banyak sekali hidup manusia antara lain juga
menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentu
saja topik ini sangat luas dan rumit, tidak mungkin diuraikan disini dengan
lengkap dan menurut segala aspeknya. Kita harus membatasi diri pada beberapa
catatan saja.
1. Ambevalensi
Kemajuan Ilmiah
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi memiliki akibat positif
dan juga banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi tanpa batas akhirnya
membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawa oleh teknologi bukan
saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika manusia tidak
segera tahu membatasi diri.
Sejak setelah Perang Dunia II, perkembangan dan penerapan teknologi
senantiasa diikuti dengan dua pandangan yang saling bertentangan. Pandangan
optimis menekankan keyakinan bahwa kita mampu mengontrol teknologi yang
dihasilkan. Kitalah yang memberikan nilai-nilai di dalam menentukan teknologi
apa yang akan dipergunakan, dan bagaimana. Teknologi ibarat alat pasif yang
dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Visi optimistik ini menjadi
bagian dominan dari kebudayaan teknologis-kapitalis, yang nyata sekali di dalam
setiap iklan-iklan pemasaran barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sebagian
besar problem kehidupan manusia sehari-hari seakan-akan bisa diselesaikan lewat
teknologi. Visi ini memang memahami bahwa teknologi mengandung bukan hanya
konteks material yang dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat ke
masyarakat, dari satu kebudayaan ke kebudayaan, melainkan juga mengandung
konteks sosio-kultural. Namun, dampak sosio-kultural muncul sebagai akibat
pemakaian dan pengembangan tak bertanggung jawab.
Manusia didefinisikan sebagai Homo Faber, yaitu pembuat dan
pemakai alat, atau Homo Sapiens, yaitu si bijak atau si pemikir, dan
terakhir Homo Symbolicum, yaitu si pencipta dan pengguna simbol.
Apapun definisi manusia itu, semuanya menunjukkan sentralitas pengetahuan dan
teknologi di dalam kegiatan manusia. Laju perkembangan teknologi demikian pesat
sehingga melahirkan bukan hanya kemudahan tetapi juga berbagai masalah yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kecanggihan teknologi informasi telah
memungkinkan bentuk-bentuk komunikasi yang secara virtual mengecilkan dunia,
tetapi itupun tidak tanpa diikuti oleh problem etis.
Teknologi (modern) dapat menimbulkan kerugian tanpa satu orang dapat
ditunjuk melakukan kesalahan. Bahkan ketika ketelitian, kecermatan, sudah
dijalankan, bencana besar atau kecil bisa saja berlangsung. Pandangan optimis
terhadap teknologi cenderung menaruh beban tanggung jawab di pundak pengguna,
sementara yang berpandangan pesimis cenderung mengecilkan beban tanggung jawab
tersebut. Seringkali bahkan pengguna individu di sebuah wilayah, khususnya
negara berkembang, dihadapkan pada tiadanya pilihan sama sekali, atau pilihan
dan tindakan sebagai pengguna individu di wilayah tertentu tidak berpengaruh
sama sekali terhadap sistem teknologi yang demikian sinambung dan perpetual,
yang ditentukan oleh pengguna lain di negara-negara maju.
Kemajuan teknologi seringkali justru membuat kita melakukan hal-hal bodoh
dengan cara yang cerdik. Menghadapi situasi ini, satu-satunya sikap kritis yang
pada akhirnya tetap harus dipertahankan adalah bahwa sangat tidak realistik
untuk berpikir bahwa teknologi, di dalam menawarkan solusi terhadap situasi
problematik, betapapun maju dan canggihnya teknologi tersebut, tidak mempunyai
efek samping, yang akan menimbulkan masalah baru. Di lain pihak, kita juga
tidak bisa meremehkan ketergantungan kita ke teknologi modern.
Sikap utama yang harus dibentuk di dalam adalah kesadaran bahwa teknologi
tetap harus terikat ke aspirasi kita sebagai umat manusia, dengan impian dan
cita-cita akan masa depan yang lebih baik di dalam kebudayaan teknologi. Sebuah
imperatif yang harus dipegang adalah, tidak pernah seorang manusia pun boleh
dijadikan tujuan di luar dirinya sendiri.
2. Masalah
Bebas Nilai
Pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya ilmu dan teknologi bertemu
dengan moral. Nilai moral yang utama adalah : apakah ilmu itu bebas nilai.
Ternyata penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi menjadi usaha yang semakin
mahal, sehingga ketersediaan dana yang besar sangat dibutuhkan. Yang membiayai
penelitian ilmiah tentu sudah mempunyai maksud dan harapan tertentu. Sehingga
pada zaman ini perkembangan ilmu dan teknologi hampit tidak dapat dipisahkan
lagi dari kepentingan bisinis dan politik/militer.
Ilmu pada dirinya sendiri tidak langsung berhubungan dengan nilai-nilai
moral. Masalahnya tujuan ilmu sekarang ini bukan lagi sekedar menjawab
bagaimana-mengapa, atau semata memenuhi semangat ingin tahu. Ilmuwan pun tak
bisa lagi naif mengumandangkan, 'kami hanya mencari kebenaran'.
Mereka dengan rendah hati harus mengakui, di balik karya yang menampilkan
daya agung memahami alam, tersembunyi tangan kuat ekonomi, politik, atau
militer. Ilmuwan tak dapat berkarya tanpa dana untuk penelitian mereka yang
mahal. Einstein pernah berkata, 'ilmuwan adalah orang yang secara ekonomi
paling tidak bebas'; sukses Wilmut didukung Pharmaceutical Proteins Ltd. yang
mengharap penerapan komersialnya.
Ilmu menjawab mengapa, tetapi ilmu dan terutama teknologi, terikat pada
konteks. Ketika dimensi pragmatik memasuki wilayah ilmu, yang mungkin terjadi
adalah pencampuran asas kebenaran dengan manfaat. Ketika itulah muncul
pertanyaan, untuk siapa? Sering untuk siapa melegitimasi proyek keilmuan yang
ujungnya kepentingan politik atau militer. Tak terbayangkan kalau manusia klon
terlaksana atas nama untuk siapa yang eksklusif.
3.
Teknologi yang Tak Terkendali
Saat ini banyak sekali dana, tenaga dan perhatian dikerahkan untuk
menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan teknologi namun hanya sedikit yang
dilakukan untuk mereflekfsikan serta mengembangkan kualitas etis dari
usaha-usaha raksasa itu.
Implisit di belakang pandangan ini adalah bahwa pengembangan dan
pemakaian teknologi harus diikuti dengan kontrol terhadap siapa-nya. Contohnya
adalah di dalam pemakaian energi nuklir. Weinberg mengamati bahwa pengembangan
teknologi nuklir untuk kepentingan militer menciptakan kelompok-kelompok yang
menentukan negara mana yang boleh dan tidak boleh mengembangkan teknologi ini.
Sebuah paranoia sosial tumbuh bersama munculnya kelompok-kelompok pemilik dan
penjaga keahlian senjata nuklir. Pengontrolan terhadap teknologi memunculkan
pengontrolan terhadap semua orang yang dinilai tidak memiliki nilai-nilai dan
tujuan yang sama.
Contoh sederhana terlihat dari pengamatan terhadap lingkungan kerja yang
memperlihatkan bagaimana teknologi komputer meningkatkan kontrol manajerial
terhadap pekerja, baik di kantor maupun industri. Tampilan kerja (kecepatan,
efisiensi, kesalahan, ketidakcermatan, dan lain-lain) dapat dimonitor terus
menerus, dan tercatat dengan rinci. Efisiensi meningkat, namun kontrol terhadap
sesama manusia diperketat dan seringkali menghilangkan sentuhan manusiawi.
Persoalan memang, ketika problem bersifat manusiawi juga diselesaikan lewat
pendekatan teknologis. Ideal masyarakat bebas dan terbuka yang dicita-citakan
melalui pengembangan teknologi, justru menjadi kebalikannya.
Dengan landasan inilah kritik teknologi hendak menunjukkan
ketidakberdayaan kita berhadapan dengan teknologi yang ironisnya adalah buah
pikir kita sendiri. Teknologi boleh jadi adalah hasil manusia, namun
perkembangannya telah menjadi demikian otonom melampaui kemampuan manusia
individu atau kolektif, untuk mengontrolnya. Teknologi modern berperilaku
seperti sebuah ekosistem. Campur tangan di satu titik akan memunculkan
konsekuensi di bagian lain.
4.
Tanda-tanda yang Menimbulkan Harapan
Perkembangan ilmiah teknologi selalu mendahului pemikiran etis. Yang
ideal adalah pemikiran etis mendahului perkembangan ilmiah dan teknologi, tapi
cita-cita seperti itu rasanya masih jauh mustahil untuk diwujudkan. Namun
demikian perlu dicatat bahwa disini ada beberapa perkembangan yang
menggembirakan dan dapat membesarkan hati. Salah satu diantaranya adalah
munculnya komisi-komisi etika. Dibanyak
Negara modern sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit dan proyek-proyek
penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mengawasi dan mendampingi rumah
sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti itu bisa
menjadi semancam “hati nurani” agar rumah sakit memberi pelayanan yang
sungguh-sungguh manusiawi. Komisi dapat dikonsultasi jika direksi dan staf
medis mengalami keraguan etis dalam menjalankan tugasnya dan komisi juga dapat
mengambil inisiatif sendiri jika menurut pendapatnya terjadi peristiwa yang
dari segi moral menimbulkan tanda tanya
Setelah dilakukan eksperimen pada binatang atau ditempuh cara
bereksperimentasi lain lagi, mau tidak mau timbul saatnya bahwa tidak bisa
dihindari lagi mengadakan percobaan langsung dengan manusia untuk mencoba
obat-obat baru, prosedur medis baru, atau sebagainya. Percobaan ini harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga martabat manusia tetap dihormati.
- Metode
Etika Terapan
Etika
terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Disini tidak mau
diberi kesan seolah-olah dalam etika terapan selalu dipakai metode yang sama.
Justru dalam etika terapan tidak ada metode yang siap pakai yang bisa
dimanfaatkan begitu saja oleh semua orang yang berkecimpung dibidang ini. Ada
empat unsur yang mewarnai pemikiran etis. Setiap orang yang ingin membentuk
suatu pendirian yang beralasan tentang masalah-masalah etis, juga diluar
kerangka etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya
pertimbangan moral pada umumnya. Keempat unsur itu adalah
1. Sikap
Awal
Sikap awal merupakan sikap tertentu seseorang terhadap
statu hal atau masalah yang dihadapinya. Sikap moral berupa sikap awal ini bisa
pro atau kontra atau juga netral, masalah bisa tak acuh, terhadap sesuatu.
Sikap awal ini pada umumnya merupakan sikap yang Belum direfleksikan. Artinya,
orang Belem memikirkan mengana dia bersikap demikian terhadap masalah itu.
Sikap awal ini terbentuk oleh macam-macam faktor yang ikut memainkan peranan
dalam hidup seorang manusia, seperti: pendidikan, agama, kebudayaan, watak
seseorang, pengalaman pribadi, media massa, kebiasaan, dan lain-lain. Umumnya
sikap awal ini orang pertahankan tanpa memikirkannya lebih dalam lagi sampai
saat dia berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah refleksinya.
Refleksi yang dilakukan selanjutnya dapat saja mengubah sikap awal tadi atau
malah semakin meneguhkannya.
Sikap awal kita menjadi sesuatu yang problematis ketika
kita bertemu dengan orang yang memiliki sikap lain tentang masalah yang sama.
Kita bisa berbeda pandangan tentang sesuatu hal, umpamanya, tentang hukuman
mati eutanasia; atau tentang masalah lebih sederhana, umpamanya tentang
tindakan pemberantasan korupsi, tentang penentuan jodoh oleh orang tua, dan
sebagainya. Berhadapan dengan sikap awal yang berbeda ini, pemikiran moral kita
mulai tergugah, dan pada saat itulah refleksi etis kita mulai berlangsung. Kita
mulai merefleksikan sikap awal, kita bertanya lebih dalam mengana kita bersikap
demikian terhadap masalah itu; apa alasan yang bisa kita pertanggungjawabkan
yang melandasi sikap kita itu; apakah
alasan-alasan itu bisa tahan uji dihadapan berbagai alasan-alasan yang
dikemukakan, yang melatarbelakangi sikap orang lain yang berbeda dengan sikap
kita; dan sebagainya.
2.
Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang
dibutuhkan adalah informasi, yang tentu mempunyai kaitan dengan masalah yang
sedang dihadapi. Kita butuh informasi penting dan obyektif mengenai sesuatu
hal, dengannya kita bisa mengetahui dengan lebih baik tentang sesuatu yang
sedang kita hadapi. Tanpa informasi yang memadai, maka sikap moral kita
terhadap sesuatu sulit dipertanggungjawabkan. Kita butuh informasi yang berasal
dari sumber yang dapat dipercaya, yang memiliki keahlian dan punya wawasan yang
luas. Kalau informasi penting tidak kita dapatkan, maka sikap moral hanya
didasarkan atas asumsi-asumsi pribadi, diatas pemikiran subyektif dan bahkan
sangat emosional saja. Pentingnya mendapatkan informasi yang memadai merupakan
salah satu alasan mendasar mengenai etika terapan harus dijalankan dalam
konteks verja sama multidisipliner, berbagai infornasi penting yang Sangat kita
butuhkan sebagai landasan obyektif pembentukan sikap yang dapat kita
pertanggungjawabkan, dapat kita peroleh.
3.
Norma-norma
Moral
Unsur berikut dalam metode etika terapan adalah
norma-norma moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan. Norma
moral itu sudah diterima dalam masyarakat. Penerapan norma-norma disini tidak
berlangsung seperti pada penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik
Sebagai contoh adalah penghapusan perbudakan yang selama
berabad-abad diterima begitu saja dalam banyak kebudayaan. Dalam zaman modern
timbul kesadaran bahwa dari segi moral perbudakan tidak bisa diterima karena
semua manusia berhak atas perlakuan yang sama.
4.
Logika
Proses pembahasan suatu masalah yang sedang dihadapi
harus mematuhi tuntutan berpikir logis-rasional. Ini diperlukan bagi setiap usa
pembahasan untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral. Penerapan prinsip logis-rasional dapat memperlihatkan hubungan
antara kesimpulan dengan premis-premis
yang mendahuluinya, dan apakah kesimpulan yang diambil dapat tahan uji jika diperiksa secara iritis
menurut aturan-aturan logika. Logika juga dapat menunjukan kesalahan-kesalahan
penalaran deserta inkonsistensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi.
Penggunaan pemikiran logis-rasional juga sangat diperlukan dalam melakukan
perumusan yang tepat mengenai batasan
yang jelas atas topik yang sedang dibicarakan. Diskusi tentang topik-topik etis
seringkali menjadi kacau karena tidak dirumuskan dengan jelas apa yang
dimaksudkan dengan topik tersebut, sehingga para peserta diskusi mungkin memaksudkan
beberapa hal yang berbeda.
Keempat unsur yang telah dibicarakan, yakni : sikap awal,
informasi, norma-norma moral dan logika merupakan unsur-unsur paling penting
yang membentuk etika terapan. Diskusi yang berlangsung dalam etika terapan
dimungkinkan sebagai buah hasil kerjasama dan interaksi antara empat unsur itu.
Dengan cara demikian, etika terapan dapat membantu untuk mengangkat pertimbangan dan keputusan
moral kita dari suatu taraf subyektif serta emosional ke suatu taraf obyektif
dan rasional. Suatu pandangan disebut obyektif apabila dalam penalarannya lepas
dari factor-faktir yang hanya penting untuk beberapa orang; tidak memihak atau
memenangkan kepentingan pihak tertentu saja; tidak berprasangka atau bertolak
dari anggapan-anggapan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.