Rabu, 08 Februari 2012

INFO LOWONGAN KERJA PT.SARI DUMAI SEJATI


INFO LOWONGAN KERJA
BERDASARKAN PENGUMUMAN DI KANTOR DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KOTA DUMAI PADA TANGGAL 08 FEBRUARI 2012
PT.SARI DUMAI SEJATI, memberikan kesempatan bekerja kepada masyarakat Dumai yang memenuhi qualifikasi sebagai berikut :
1.       MEKANIK
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan S1, D3, dan SLTA jurusan Elektro/Mesin
c.       Pengalaman dibidang mekanik untuk D3 minimal 1 tahun dan SLTA 3 tahun
d.      Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
e.      Berbadan sehat
f.        Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
2.       SHIFT OPERATOR TANK FARM
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA sederajat
c.       Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
d.      Berbadan sehat
e.      Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
3.       SHIFT OPERATOR REFINERY
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA sederajat
c.       Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
d.      Berbadan sehat
e.      Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
4.       SHIFT OPERATOR FRACTINATION
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA sederajat
c.       Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
d.      Berbadan sehat
e.      Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
5.       SHIFT OPERATOR COAL BOILER
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA Jurusan Elektro/Mesin
c.       Pengalaman dibidang operator coal boiler selama 1 tahun
d.      Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
e.      Berbadan sehat
f.        Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
6.       SHIFT OPERATOR GENSET
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA Jurusan Elektro/Mesin
c.       Pengalaman dibidang operator genset  selama 1 tahun
d.      Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
e.      Berbadan sehat
f.        Mampu mengoperasikan computer Ms.Office
7.       SHIFT OPERATOR WWTP
Persyaratan
a.       Laki-laki
b.      Pendidikan minimal SLTA Jurusan IPA/Kimia
c.       Diutamakan berdomisili di Kecamatan Sungai Sembilan
d.      Berbadan sehat
e.      Mampu mengoperasikan computer Ms.Office

PERSYARATAN/KELENGKAPAN ADMIN
1.       Surat Lamaran Pekerjaan
2.       Photo copy Ijazah Terakhir/STTB yang telah disahkan pihak berwenang
3.       Daftar Riwayat Hidup (cantumkan no telp/hp yang bisa dihubungi)
4.       Pas Photo Terbaru dan Berwarna 3 x 4 cm sebanyak 3 lembar
5.       Photo copy Kartu Tanda Penduduk yang Masih Berlaku
6.       Photo copy Kartu Pencari Kerja (AK.1) dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Dumai

BERKAS LAMARAN DITUJUKAN KE ALAMAT :
BAGIAN HRD PT.SARI DUMAI SEJATI
JALAN RAYA LUBUK GAUNG KEC.SUNGAI SEMBILAN – DUMAI
Atau melalui e-mail : recruitment_sds@asianagri.com
Berkas lamaran Pekerjaan diterima paling lambat tanggal 27 Maret 2012


Saya sudah bertanya kepada pegawai Dinas Tenaga Kerja disana bahwa ada tertulis dalam persyaratan diutamakan yang berdomisili di Kec.Sungai Sembilan. Akan tetapi Lamaran Pekerjaan ini tetap terbuka untuk umum jawab pegawai tersebut.

Selamat mencoba ya teman-teman. Semoga berhasil.


Kamis, 12 Januari 2012

PANCASILA




Butir-butir Pengamalan Pancasila
Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
36 BUTIR-BUTIR PANCASILA/EKA PRASETIA PANCA KARSA
A. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
  1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
C. SILA PERSATUAN INDONESIA
  1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
  3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
  4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.


D. SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
  1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
  5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bersifat boros.
  8. Tidak bergaya hidup mewah.
  9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  10. Suka bekerja keras.
  11. Menghargai hasil karya orang lain.
  12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Sila pertama

Bintang.
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sila kedua


Rantai.
  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila ketiga


Pohon Beringin.
  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat


Kepala Banteng
  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
Sila kelima


Padi Dan Kapas.
  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.


Rabu, 11 Januari 2012

Masalah Etika Terapan dan Tantangannya bagi Zaman Kita


MASALAH-MASALAH ETIKA TERAPAN
DAN TANTANGANNYA BAGI ZAMAN KITA

A.    Etika Sedang Naik Daun
Etika terapan (applied ethics) sama sekali bukan hal yang baru dalam sejarah filsafat moral. Sejak Plato dan Aristoteles etika merupakan filsafat praktis, artinya filsafat yang ingin memberikan penyuluhan terhadap tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus dilakukan. Dalam abad pertengahan Thomas Aquinas melanjutkan filsafat praktis ini dan menerapkannya dibidang teologi moral. Pada awal zaman modern muncul etika khusus (speciall ethics) yang membahas masalah etis suatu bidang tertentu seperti negara dan keluarga.
Pada awal abad 20,  di kawasan berbahasa inggris, khususnya di United Kingdom dan Amerika Serikat etika dipraktekkan sebagai”metaetika”. Ini adalah suatu aliran dalam filsafat moral yang tidak menyelidiki baik buruknya perbuatan manusia, melainkan “bahasa moral” atau ungkapan-ungkapan manusia tentang baik dan buruk.  Aliran meta etika merupakan filsafat moral yang mendominasi enam decade pertama abad ke-20. Baru mulai akhir 1960-an terlihat suatu tendensi lain. Timbul perhatian yang semakin besar terhadap etika. Sekitar saat itu etika mulai meminati masalah-masalah etis yang konkrit. Etika turun dari tempatnya yang tinggi, dan mulai membumi. Perubahan tersebut dapat dikatakan dipicu oleh beberapa factor yang timbul serentak. Diantara beberapa factor itu dapat disebut faktor penting pertama adalah perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya dalam sector ilmu-ilmu biomedis. Perkembangan pesat bidang ini telah menimbulkan banyak persoalan etis yang besar. Faktor penting kedua adalah terciptanya semacam “iklim moral” yang mengundang minat baru untuk etika. Iklim baru yang dimaksud berupa munculnya gerakan hak diberbagai bidang, yang secara khusus telah mengundang peran actual dari etika itu sendiri.
Namun pada dasarnya etika khusus sama artinya dengan etika terapan. Bagaimanapun juga, filsafat moral (khususnya etika terapan) mengalami perkembangan pesat atau masa kejayaannya seperti :
q  Di banyak tempat diseluruh dunia setiap tahun diadakan kongres dan seminar tentang masalah-masalah etis.
q  Telah didirikan cukup banyak institut, di dalam maupun di luar kalangan perguruan tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral, kerap kali dalam kaitan dengan bidang ilmiah tertentu (ilmu kedokteran, hukum, ekonomi atau yang lainnya)
q  Terutama di Amerika Serikat, etika dalam salah satu bentuk sering kali dimasukkan dalam kurikulum di Perguruan Tinggi.
q  Membanjirnya publikasi mengenai etika terapan yang tidak pernah terpikirkan beberapa dekade yang lalu. Ada cukup banyak majalah ilmiah yang membahas salah satu aspek etika terapan. Seperti: Philosophy and Publik Affairs, Journal of Medical Ethics dll.
q  Pada dekade-dekade terakhir ini tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral.

B.     Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan

1.      Dua wilayah besar yang disoroti etika terapan
Dua wilayah besar yang disoroti atau mendapat perhatian khusus dan serius di dalamnya, yakni wilayah profesi dan wilayah masalah. Etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dan sebagainya, merupakan wilayah profesi. Penggunaan tenaga nuklir, pembuatan, pemilikan, penggunaan senjata nuklir, pencemaran lingkungan hidup, diskriminasi ras merupakan wilayah masalah. Cabang etika terapan yang paling banyak mendapat perhatian dalam zaman kita sekarang ini dapat disebut dari sudut/wilayah profesi, yakni: etika kedokteran dan etika bisnis. Dari wilayah masalah masalah dapat disebut: etika tentang perang dan damai dan etika lingkungan hidup.
2.      Pembagian ke dalam makroetika dan mikroetika
Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah dengan membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas masalah-masalah moral pada skala besar. Suatu masalah disebut makroetika apabila masalah itu menyangkut suatu bangsa seluruhnya abahn seluruh umat manusia. Ekonomi dan keadilan; lingkungan hidup, dan alokasi sarana-sarana pelayanan kesehatan dapat digolongkan sebagai contoh-contoh dari makroetika. Mikroetika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat, seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban pengacara terhadap kliennya. Kadang diantara makroetika dan mikroetika disisipkan lagi jenis etika terapan yang ketiga, yang disebut mesoetika (meso=madya), yang menyoroti masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu kelompok atau profesi, seperti kelompok ilmuwan, profesi wartawan, pengacara dan sebagainya.
3.      Pembagian ke dalam etika individual dan etika sosial
Pembagian lain etika terapan adalah pembedaan antara etika individual dan etika social. Etka individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika social membahas kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Namun pembagian ini banyak diragukan relevansinya, karena manusia peroranganpun selalu adalah mahluk social, sehingga tidak bias dibedakan antara etika semata-mata individual dan etika yang semata-mata sosial.

C.     Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner
Etika terapan mesti bekerjasama dengan disiplin-disiplin ilmu-ilmu lain. Kerjasama ini mutlak diperlukan, karena dia harus membentuk pertimbangan tentang bidang-bidang yang sama sekali diluar keahliannya. Seorang etikawan akan sulit baginya memberikan pertimbangan moral yang dapat dipertanggungjawabkan untuk suatu masalah medis yang sama sekali tidak dimengertinya dengan baik. Dia membutuhkan penjelasan atau ulasan yang memadai dan lengkap mengenai pilihan-pilihan tindakan medis beserta berbagai argumen dibelakangnya. Dan ini hanya akan diperoleh dari pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang itu.
1. Pendekatan multidisipliner
Perlu dibedakan antara pendekatan multidisipliner dan pendekatan interdisipliner. Keduanya sama-sama merupakan pendekatan yang membuka pemahaman yang lebih luas dan mendalam atas suatu masalah yang sedang dihadapi. Pendekatan multidisipliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh pelbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang satu disamping yang lain. Setiap ilmuwan dari satu disiplin ilmu akan berusaha memberi penjelasan yang dapat dipahami juga oleh ilmuwan dari bidang lain. Multidisipliner merupakan usaha menyoroti suatu masalah tertentu dari berbagai seginya. Dalam melakukan hal ini perspektif setiap ilmu tetap dipertahankan dan tidak harus melebur dengan perspektif ilmiah yang lainnya. Disini tidak tercapai suatu pandangan terpadu, yang memang tidak dimaksudkan disini. Yang dihasilkan hanyalah pendekatan dari berbagai arah yang dipusatkan pada tema yang sama. Sedangkan pendekatan Indisipliner dijalankan dengan lintas disiplin dimana semua ilmu yang ikut serta meninggalkan pandangan yang menyeluruh. Hasil yang diperoleh  dari kerjasama ini adalah suatu produk yang melampaui segi ilmiah masing-masing peserta. Dalam kenyataannya inter disiopliner agak sulit dilaksanakan. Dan walaupun pendekatan multidisipliner juga bukan hal yang tidak sulit namun pendekatan itu lebih realistis dilaksanakan.
2. Pentingnya pendekatan kasuistik
Pendekatan kasuistik yang dimaksud adalah usaha memecahkan kasus-kasus konkrit dibidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etika umum . Pembahasan kasus merupakan cara yang sangat cocok dalam etika terapan, dan mengungkapkan sesuatu tentang kekhususan argumentasi dalam etika. Pendekatan kasuistik diakui sebagai metode yang efisien untuk mencapai kesepakatan di bidang moral. Biasanya, kalau dimulai dari teori akan sulit mencapai suatu kesepakatan. Penalaran moral memang berbeda dengan penalaran matematis, yang selalu dilkukan dengan cara yang sama, kapan saja dan dimana saja, tak terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar.
Dengan pendekatan kasuistik ini, sifat penalaran moral menunjukkan dua hal:
Pertama:  Di suatau pihak kasuistik mengandaikan secara implisi bahwa relativisme moral tidak bias dipertahankan. Jika setiap kasus mempunyai kebenaran etis sendiri, makapendekatan kasuistik tidak perlu lagi. Kasuistik timbul karena ada keyakinan umum bahwa prinsip-prinsip etis itu bersifat universal dan tidak relatif saja terhadap suatu keadaan konkret.
Kedua: Umum diterima juga bahwa prinsip-prinsip etis tidak bersifat absolut begitu saja, dan tidak peduli dengan situasi konkret. Sebagaimana arti sebuah kata atau kalimat bias berubah karena konteksnya, demikian juga sifat-sifat suatu masalah etis bias berubah karena situasi khusus yang menandai kasusnya. Etika situasi sangat memperhatikan keunikan setiap situasi. Faktor-faktor spesifik yang menandai suatu situasi tertentu bias sangat bias sangat mempengaruhi penilaian terhadap suatu kasus. Semua kasus tidak sama dan ketidaksamaan ini penting diperhitungkan dalam rangka menerapkan suatu prinsip etika yang berlaku umum.


D.    Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter. Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : BAPAK ILMU KEDOKTERAN. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan muridmuridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak kode-kode etik ini. Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.


SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya. Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional

TUJUAN KODE ETIK PROFESI :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.

FUNGSI KODE ETIK PROFESI :
1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
3.Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.



Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya
pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia kode etik dokter, perawat, petugas pelayanan kesehatan, pengacara, wartawan, perusahaan periklanan dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.

E.     ETIKA DI DEPAN ILMU TEKNOLOGI
Diantara masalah-masalah etis berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil spektakuler yang dicapai dari perkembangan ilmu dan teknologi modern. Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, perkembangan ilmiah dan teknologi itu mengubah banyak sekali hidup manusia antara lain juga menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentu saja topik ini sangat luas dan rumit, tidak mungkin diuraikan disini dengan lengkap dan menurut segala aspeknya. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan saja.
1.      Ambevalensi Kemajuan Ilmiah
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi memiliki akibat positif dan juga banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi tanpa batas akhirnya membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawa oleh teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika manusia tidak segera tahu membatasi diri.
Sejak setelah Perang Dunia II, perkembangan dan penerapan teknologi senantiasa diikuti dengan dua pandangan yang saling bertentangan. Pandangan optimis menekankan keyakinan bahwa kita mampu mengontrol teknologi yang dihasilkan. Kitalah yang memberikan nilai-nilai di dalam menentukan teknologi apa yang akan dipergunakan, dan bagaimana. Teknologi ibarat alat pasif yang dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Visi optimistik ini menjadi bagian dominan dari kebudayaan teknologis-kapitalis, yang nyata sekali di dalam setiap iklan-iklan pemasaran barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar problem kehidupan manusia sehari-hari seakan-akan bisa diselesaikan lewat teknologi. Visi ini memang memahami bahwa teknologi mengandung bukan hanya konteks material yang dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat ke masyarakat, dari satu kebudayaan ke kebudayaan, melainkan juga mengandung konteks sosio-kultural. Namun, dampak sosio-kultural muncul sebagai akibat pemakaian dan pengembangan tak bertanggung jawab.
Manusia didefinisikan sebagai Homo Faber, yaitu pembuat dan pemakai alat, atau Homo Sapiens, yaitu si bijak atau si pemikir, dan terakhir Homo Symbolicum, yaitu si pencipta dan pengguna simbol. Apapun definisi manusia itu, semuanya menunjukkan sentralitas pengetahuan dan teknologi di dalam kegiatan manusia. Laju perkembangan teknologi demikian pesat sehingga melahirkan bukan hanya kemudahan tetapi juga berbagai masalah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kecanggihan teknologi informasi telah memungkinkan bentuk-bentuk komunikasi yang secara virtual mengecilkan dunia, tetapi itupun tidak tanpa diikuti oleh problem etis.
Teknologi (modern) dapat menimbulkan kerugian tanpa satu orang dapat ditunjuk melakukan kesalahan. Bahkan ketika ketelitian, kecermatan, sudah dijalankan, bencana besar atau kecil bisa saja berlangsung. Pandangan optimis terhadap teknologi cenderung menaruh beban tanggung jawab di pundak pengguna, sementara yang berpandangan pesimis cenderung mengecilkan beban tanggung jawab tersebut. Seringkali bahkan pengguna individu di sebuah wilayah, khususnya negara berkembang, dihadapkan pada tiadanya pilihan sama sekali, atau pilihan dan tindakan sebagai pengguna individu di wilayah tertentu tidak berpengaruh sama sekali terhadap sistem teknologi yang demikian sinambung dan perpetual, yang ditentukan oleh pengguna lain di negara-negara maju.
Kemajuan teknologi seringkali justru membuat kita melakukan hal-hal bodoh dengan cara yang cerdik. Menghadapi situasi ini, satu-satunya sikap kritis yang pada akhirnya tetap harus dipertahankan adalah bahwa sangat tidak realistik untuk berpikir bahwa teknologi, di dalam menawarkan solusi terhadap situasi problematik, betapapun maju dan canggihnya teknologi tersebut, tidak mempunyai efek samping, yang akan menimbulkan masalah baru. Di lain pihak, kita juga tidak bisa meremehkan ketergantungan kita ke teknologi modern.
Sikap utama yang harus dibentuk di dalam adalah kesadaran bahwa teknologi tetap harus terikat ke aspirasi kita sebagai umat manusia, dengan impian dan cita-cita akan masa depan yang lebih baik di dalam kebudayaan teknologi. Sebuah imperatif yang harus dipegang adalah, tidak pernah seorang manusia pun boleh dijadikan tujuan di luar dirinya sendiri.

2.      Masalah Bebas Nilai
Pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya ilmu dan teknologi bertemu dengan moral. Nilai moral yang utama adalah : apakah ilmu itu bebas nilai. Ternyata penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi menjadi usaha yang semakin mahal, sehingga ketersediaan dana yang besar sangat dibutuhkan. Yang membiayai penelitian ilmiah tentu sudah mempunyai maksud dan harapan tertentu. Sehingga pada zaman ini perkembangan ilmu dan teknologi hampit tidak dapat dipisahkan lagi dari kepentingan bisinis dan politik/militer.
Ilmu pada dirinya sendiri tidak langsung berhubungan dengan nilai-nilai moral. Masalahnya tujuan ilmu sekarang ini bukan lagi sekedar menjawab bagaimana-mengapa, atau semata memenuhi semangat ingin tahu. Ilmuwan pun tak bisa lagi naif mengumandangkan, 'kami hanya mencari kebenaran'.
Mereka dengan rendah hati harus mengakui, di balik karya yang menampilkan daya agung memahami alam, tersembunyi tangan kuat ekonomi, politik, atau militer. Ilmuwan tak dapat berkarya tanpa dana untuk penelitian mereka yang mahal. Einstein pernah berkata, 'ilmuwan adalah orang yang secara ekonomi paling tidak bebas'; sukses Wilmut didukung Pharmaceutical Proteins Ltd. yang mengharap penerapan komersialnya.
Ilmu menjawab mengapa, tetapi ilmu dan terutama teknologi, terikat pada konteks. Ketika dimensi pragmatik memasuki wilayah ilmu, yang mungkin terjadi adalah pencampuran asas kebenaran dengan manfaat. Ketika itulah muncul pertanyaan, untuk siapa? Sering untuk siapa melegitimasi proyek keilmuan yang ujungnya kepentingan politik atau militer. Tak terbayangkan kalau manusia klon terlaksana atas nama untuk siapa yang eksklusif.

3.      Teknologi yang Tak Terkendali
Saat ini banyak sekali dana, tenaga dan perhatian dikerahkan untuk menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan teknologi namun hanya sedikit yang dilakukan untuk mereflekfsikan serta mengembangkan kualitas etis dari usaha-usaha raksasa itu.
Implisit di belakang pandangan ini adalah bahwa pengembangan dan pemakaian teknologi harus diikuti dengan kontrol terhadap siapa-nya. Contohnya adalah di dalam pemakaian energi nuklir. Weinberg mengamati bahwa pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan militer menciptakan kelompok-kelompok yang menentukan negara mana yang boleh dan tidak boleh mengembangkan teknologi ini. Sebuah paranoia sosial tumbuh bersama munculnya kelompok-kelompok pemilik dan penjaga keahlian senjata nuklir. Pengontrolan terhadap teknologi memunculkan pengontrolan terhadap semua orang yang dinilai tidak memiliki nilai-nilai dan tujuan yang sama.
Contoh sederhana terlihat dari pengamatan terhadap lingkungan kerja yang memperlihatkan bagaimana teknologi komputer meningkatkan kontrol manajerial terhadap pekerja, baik di kantor maupun industri. Tampilan kerja (kecepatan, efisiensi, kesalahan, ketidakcermatan, dan lain-lain) dapat dimonitor terus menerus, dan tercatat dengan rinci. Efisiensi meningkat, namun kontrol terhadap sesama manusia diperketat dan seringkali menghilangkan sentuhan manusiawi. Persoalan memang, ketika problem bersifat manusiawi juga diselesaikan lewat pendekatan teknologis. Ideal masyarakat bebas dan terbuka yang dicita-citakan melalui pengembangan teknologi, justru menjadi kebalikannya.
Dengan landasan inilah kritik teknologi hendak menunjukkan ketidakberdayaan kita berhadapan dengan teknologi yang ironisnya adalah buah pikir kita sendiri. Teknologi boleh jadi adalah hasil manusia, namun perkembangannya telah menjadi demikian otonom melampaui kemampuan manusia individu atau kolektif, untuk mengontrolnya. Teknologi modern berperilaku seperti sebuah ekosistem. Campur tangan di satu titik akan memunculkan konsekuensi di bagian lain.



4.      Tanda-tanda yang Menimbulkan Harapan
Perkembangan ilmiah teknologi selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah pemikiran etis mendahului perkembangan ilmiah dan teknologi, tapi cita-cita seperti itu rasanya masih jauh mustahil untuk diwujudkan. Namun demikian perlu dicatat bahwa disini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan dapat membesarkan hati. Salah satu diantaranya adalah munculnya  komisi-komisi etika. Dibanyak Negara modern sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit dan proyek-proyek penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mengawasi dan mendampingi rumah sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti itu bisa menjadi semancam “hati nurani” agar rumah sakit memberi pelayanan yang sungguh-sungguh manusiawi. Komisi dapat dikonsultasi jika direksi dan staf medis mengalami keraguan etis dalam menjalankan tugasnya dan komisi juga dapat mengambil inisiatif sendiri jika menurut pendapatnya terjadi peristiwa yang dari segi moral menimbulkan tanda tanya
Setelah dilakukan eksperimen pada binatang atau ditempuh cara bereksperimentasi lain lagi, mau tidak mau timbul saatnya bahwa tidak bisa dihindari lagi mengadakan percobaan langsung dengan manusia untuk mencoba obat-obat baru, prosedur medis baru, atau sebagainya. Percobaan ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga martabat manusia tetap dihormati.

  1. Metode Etika Terapan
Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Disini tidak mau diberi kesan seolah-olah dalam etika terapan selalu dipakai metode yang sama. Justru dalam etika terapan tidak ada metode yang siap pakai yang bisa dimanfaatkan begitu saja oleh semua orang yang berkecimpung dibidang ini. Ada empat unsur yang mewarnai pemikiran etis. Setiap orang yang ingin membentuk suatu pendirian yang beralasan tentang masalah-masalah etis, juga diluar kerangka etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya. Keempat unsur itu adalah

1.      Sikap Awal
Sikap awal merupakan sikap tertentu seseorang terhadap statu hal atau masalah yang dihadapinya. Sikap moral berupa sikap awal ini bisa pro atau kontra atau juga netral, masalah bisa tak acuh, terhadap sesuatu. Sikap awal ini pada umumnya merupakan sikap yang Belum direfleksikan. Artinya, orang Belem memikirkan mengana dia bersikap demikian terhadap masalah itu. Sikap awal ini terbentuk oleh macam-macam faktor yang ikut memainkan peranan dalam hidup seorang manusia, seperti: pendidikan, agama, kebudayaan, watak seseorang, pengalaman pribadi, media massa, kebiasaan, dan lain-lain. Umumnya sikap awal ini orang pertahankan tanpa memikirkannya lebih dalam lagi sampai saat dia berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah refleksinya. Refleksi yang dilakukan selanjutnya dapat saja mengubah sikap awal tadi atau malah semakin meneguhkannya.
Sikap awal kita menjadi sesuatu yang problematis ketika kita bertemu dengan orang yang memiliki sikap lain tentang masalah yang sama. Kita bisa berbeda pandangan tentang sesuatu hal, umpamanya, tentang hukuman mati eutanasia; atau tentang masalah lebih sederhana, umpamanya tentang tindakan pemberantasan korupsi, tentang penentuan jodoh oleh orang tua, dan sebagainya. Berhadapan dengan sikap awal yang berbeda ini, pemikiran moral kita mulai tergugah, dan pada saat itulah refleksi etis kita mulai berlangsung. Kita mulai merefleksikan sikap awal, kita bertanya lebih dalam mengana kita bersikap demikian terhadap masalah itu; apa alasan yang bisa kita pertanggungjawabkan yang melandasi sikap kita itu;  apakah alasan-alasan itu bisa tahan uji dihadapan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan, yang melatarbelakangi sikap orang lain yang berbeda dengan sikap kita; dan sebagainya.
2.      Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang dibutuhkan adalah informasi, yang tentu mempunyai kaitan dengan masalah yang sedang dihadapi. Kita butuh informasi penting dan obyektif mengenai sesuatu hal, dengannya kita bisa mengetahui dengan lebih baik tentang sesuatu yang sedang kita hadapi. Tanpa informasi yang memadai, maka sikap moral kita terhadap sesuatu sulit dipertanggungjawabkan. Kita butuh informasi yang berasal dari sumber yang dapat dipercaya, yang memiliki keahlian dan punya wawasan yang luas. Kalau informasi penting tidak kita dapatkan, maka sikap moral hanya didasarkan atas asumsi-asumsi pribadi, diatas pemikiran subyektif dan bahkan sangat emosional saja. Pentingnya mendapatkan informasi yang memadai merupakan salah satu alasan mendasar mengenai etika terapan harus dijalankan dalam konteks verja sama multidisipliner, berbagai infornasi penting yang Sangat kita butuhkan sebagai landasan obyektif pembentukan sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan, dapat kita peroleh.
3.      Norma-norma Moral
Unsur berikut dalam metode etika terapan adalah norma-norma moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan. Norma moral itu sudah diterima dalam masyarakat. Penerapan norma-norma disini tidak berlangsung seperti pada penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik
Sebagai contoh adalah penghapusan perbudakan yang selama berabad-abad diterima begitu saja dalam banyak kebudayaan. Dalam zaman modern timbul kesadaran bahwa dari segi moral perbudakan tidak bisa diterima karena semua manusia berhak atas perlakuan yang sama.
4.      Logika
Proses pembahasan suatu masalah yang sedang dihadapi harus mematuhi tuntutan berpikir logis-rasional. Ini diperlukan bagi setiap usa pembahasan untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Penerapan prinsip logis-rasional dapat memperlihatkan hubungan antara kesimpulan dengan premis-premis  yang mendahuluinya, dan apakah kesimpulan yang diambil  dapat tahan uji jika diperiksa secara iritis menurut aturan-aturan logika. Logika juga dapat menunjukan kesalahan-kesalahan penalaran deserta inkonsistensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi. Penggunaan pemikiran logis-rasional juga sangat diperlukan dalam melakukan perumusan  yang tepat mengenai batasan yang jelas atas topik yang sedang dibicarakan. Diskusi tentang topik-topik etis seringkali menjadi kacau karena tidak dirumuskan dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan topik tersebut, sehingga para peserta diskusi mungkin memaksudkan beberapa hal yang berbeda.

Keempat unsur yang telah dibicarakan, yakni : sikap awal, informasi, norma-norma moral dan logika merupakan unsur-unsur paling penting yang membentuk etika terapan. Diskusi yang berlangsung dalam etika terapan dimungkinkan sebagai buah hasil kerjasama dan interaksi antara empat unsur itu. Dengan cara demikian, etika terapan dapat membantu  untuk mengangkat pertimbangan dan keputusan moral kita dari suatu taraf subyektif serta emosional ke suatu taraf obyektif dan rasional. Suatu pandangan disebut obyektif apabila dalam penalarannya lepas dari factor-faktir yang hanya penting untuk beberapa orang; tidak memihak atau memenangkan kepentingan pihak tertentu saja; tidak berprasangka atau bertolak dari anggapan-anggapan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.